KELAS 6 TEMA 7 SUBTEMA 1 (SBDP)

 KELAS 6 TEMA 7 SUBTEMA 1 SBDP

Pengertian Tari Kolosal dan Musikal 

tari kolosal adalah tari yang dilakukan secara massal lebih dari banyak kelompok dan biasanya dilakukan oleh setiap suku bangsa diseluruh daerah nusantara, 

contoh tari tari kolosal : 

1. tari kolosal - paju gandrung sewu dri banyuwangi
2. tari kolosal - siwa nata raja dari bali
3. tari kolosal - pacitan bumi kaloka dari pacitan
4. tari kolosal - kraton boko dari yogyakarta
5. tari kolosal - seribu barong dari kediri







diatas adalah gambar gambar contoh tari kolosal 

fungsi tari sendiri yaitu : 

Berikut ini beberapa fungsi tari secara umum, diantaranya:
a. Untuk upacara adat
Fungsi tarian salah satunya sebagai sarana untuk upacara adat atau keagamaan, dan selalu memiliki kriteria khusus pada pemenasannya misalnya seperti: dilaksanakan pada waktu tertentu, ditarikan oleh penari yang terpilih, di laksanakan pada tempat tertentu, dan umumnya menggunakan sesajian. Contohnya seperti tarian Gantar yang berasal dari Kalimantan.
b. Sebagai sarana hiburan
Tarian sebagai sarana hiburan Umumnya tarian dipentaskan sebagai sarana untuk menghibur penonton, sehingga penonton merasa terhibur atau gemberia karena menyaksikan tarian den
gan gerakan tubuh yang indah.
c. Sebagai media pertunjukan
Tarian sebagai sarana untuk media pertunjukan. Misalnya seperti tarian Sendratari Ramayana, tarian ini sebagai media pertunjukan di candi parambanan .
d. Sebagai media pendidikan
Tarian sebagai media untuk pendidikan, biasanya dalam tarian terdapat kandungan moral-moral dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Sebagai sarana pembersihan jiwa
Tarian sebagai sarana untuk pembersihan jiwa, maksudnya tarian dimainkan oleh para seniman yang bertujuan untuk memperdalam penghayatan terhadap kesenian tari.
Berikut adalah contoh tentang salah satu kisah tari kolosal di Indonesia yaitu : 
Musikal Tari Kolosal ARIAH - Akulturalisasi Tari, Budaya, dan Bangunan Sejarah di Jakarta
Terbuka sudah, cakrawala keindahan di Jantung Jakarta yang bernama Monumen Nasional (Monas). Ruang Publik bersejarah yang sesungguhnya adalah merupakan Land Mark (tetenger) bangsa Indonesia yang merdeka dari belenggu penjajahan, tegap tinggi menjulang, terlihat bercahaya, gemerlap oleh tak sekedar lampu-lampu sekian megawatt yang disorotkan ke batang tubuhnya, dan ke arah panggung pertunjukan yang ”wah”. 
 
Tetapi terlebih lagi Monas semakin gemerlap oleh cahaya-cahaya hati ratusan ribu warga DKI Jakarta yang pada Jumat malam, 28 Juni 2013 berduyun- duyun mendatangi tugu kebanggaan seluruh bangsa Indonesia malam itu untuk menyaksi perhelatan Musikal Tari Kolosal ARIAH, dan cahaya hati ratusan ribu warga Jakarta (boleh dibilang mewakili seluruh rakyat Indonesia) tersebut, tentu tak hanya karena tontonan ARIAH semata.
 
Mereka yang hadir malam itu  mendadak menjadi saksi, betapa Monas yang seolah telah ditinggalkan dan dilupakan bangsanya sendiri selaku Land Mark kemerdekaan Indonesia, kini hidup kembali dan menemukan momentum historikal sebagaimana mestinya. 
 
Musikal Tari Kolosal ARIAH, dengan sutradara dan penulis naskah, Atilah Soeryadjaya;  penata artistik, Jay Subyakto; penata musik, Erwin Gutawa; dan koreografer Wiwiek Sipala dan Eko Supendi; serta tak ketinggalan didukung pula oleh ratusan seniman panggung lainnya (200 penari, 120 musisi orkestra), nampak senyawa dengan gagasan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menginginkan pergelaran untuk rakyat di hari Ulang Tahun Jakarta ke 286 dan pemberlakuan Monas  sebagai Land Mark yang harus memiliki roh kemerdekaan dan kemanusiaan bangsa Indonesia.



Panggung berukuran panjang 72 meter, lebar 48 meter, dan tinggi 10 meter yang dibangun dengan proporsional di bawah cawan atau bagian bawah tugu Monas berhasil mensinkronisasikan berbagai konfigurasi elemen antara lain gerak tari, dan efek visual. Tak ayal membuat sibuk seluruh pasang mata penonton yang hadir saat itu untuk menyaksikan tiap detail jalan ceritanya.
 
ARIAH, musikal tari kolosal yang diangkat dari kisah nyata rakyat Betawi bercerita tentang kegigihan seorang perempuan yang ingin keluar dari jurang kemiskinan dan kebodohan serta ingin mempertahankan harga diri dan martabatnya. 
 
Unsur-unsur budaya Betawi dihadirkan sang sutradara lewat tarian, musik, dan kostum. Tak lupa kesenian beladiri khas Betawi, pencak silat turut mengisi segment terakhir, dimana demi mempertahankan martabat dan kehormatannya, Ariah harus melawan Piun dan Sura, yang merupakan centeng Oey Tambah Sia. Perkelahian yang tidak seimbang ini pun membuat Ariah menemui ajalnya.  



Catatan Sejarah
 
Selain tontonan perdana berupa Theater Tari itu sendiri hebat dan spektakuler, yang dapat menandai adanya kekuatan kultural secara komprehensif dari MONAS, sesungguhnya Jokowi tidak se-mendadak itu mengangankan suatu ”kejadian” yang elok di Monas. 
 
Begitu beliau dikukuhkan sebagai Gubernur , Oktober  2012 , Jokowi ke Monas dan menekankan agar tugu berbentuk Lingga-Joni (tiang dengan puncak berlapis emas dan di bawahnya beralaskan cawan)  ini dikelola secara profesional, proporsional di bawah satu tangan manajemen. 
 
Mengingat fungsi historiknya yang begitu sakral, Jokowi sangat sadar,  bahwa Monas yang didirikan tanggal 17 Agustus 1961 silam oleh Presiden Sukarno atas usulan dari Panitia Tugu Nasional tahun 1954 di bawah pimpinan Sarwoko Mertokoesoemo, memiliki daya kehidupan spiritual bagi seluruh Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, ia ingin memposisikan kembali fungsi Monas sebagai Land Mark, yang kewibawaannya dapat menembus ruang dan waktu dari masa ke masa, generasi ke generasi.
Gagasan seperti ini sebenarnya juga sering muncul dari para sejarawan dan para pakar. Namun, dalam hiruk pikuk kehidupan Ibukota yang semakin kompleks, individualis,  serta terlebih ketika perhatian pemerintah semakin terenggut oleh kebijakan ekonomi dan politik, aspek kultural kurang mendapat perhatian.
 
Manajemen Monas pun, mengalami pasang-surut di bawah pengelolaan yang semula oleh SETNEG, kemudian diserahkan kepada (sekedar) Dinas-dinas di Pemprop. DKI Jakarta. Dari pengelolaan yang kadang tak bersinergi ini, maka sering pula menimbulkan efek berupa kritik masyarakat. Termasuk misalnya, pesta rakyat Jakarta Fair yang dahulunya digelar di Monas setiap tahun, harus berpindah ke kawasan Kemayoran. 
 
Banyak aksesori, elemen estetik, ruang publik di Monas menjadi tidak atau kurang fungsional. Sehingga Monas sebagai ruang publik yang dahulunya menarik dan indah penuh pesona, alhasil sempat terdegradasi bila disandingkan dengan bangunan-bangunan bersejarah lainnya yang ada di Jakarta.
 
Namun sekarang haru serta gembira masyarakat Indonesia, khususnya warga DKI Jakarta kemudian dapat muncul kembali, manakala Jokowi terbukti memiliki kesadaran historik sekaligus kultural, untuk menjadikan Monas yang dianggap sebagai ”anak yang hilang, kini telah ditemukan kembali”. 
 
Ternyata, keinginan komprehensial Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta dapat membangkitkan dan menghidupkan kembali ”suasana” yang merupakan milik Monas yang sejatinya, dapat dinyatakan lewat tampilan budaya. 
 
Nampaknya beliau yakin, dari budayalah, simpul-simpul hati masyarakat dipersatukan untuk memuliakan peradaban yang semakin tergerus di tengah kehidupan global. Setara itu, tontonan berupa panggung Teater Tari ARIAH, bisa menjadi pemantik api, tanda berkobarnya kembali roh kebudayaan di Ibukota Jakarta. (Aria Sankhyaadi)   



Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Musikal Tari Kolosal ARIAH - Akulturalisasi Tari, Budaya, dan Bangunan Sejarah di Jakarta, https://wartakota.tribunnews.com/2013/07/11/musikal-tari-kolosal-ariah---akulturalisasi-tari-budaya-dan-bangunan-sejarah-di-jakarta.

nah diatas itu tadi adalah beberapa penelitian tentang tari kolosal , semoga bermanfaat sebagai teori 
referensi belajar anak anak dirumah, SEMANGAT :) 
Tidak ada tugas 


Comments

Popular posts from this blog

KELAS 2 TEMA 3 SUBTEMA 1 PB 2 (PJOK/B.INDO/PPKN)

Kelas 2 (Tema 1 Subtema 2 PB 2)

Kelas 2 (Tema 1 Subtema 2 PB 1)